Embun, begitulah
nama yang diberikan oleh kedua orang tuaku dibalik nama tersebut mereka
berharap kalau anak gadis mereka ini dapat memberikan kesejukkan dan kenyamanan
bagi siapapun, tapi semua itu usai ketika usiaku menutup diusia 19 tahun. Aku
Embun, usiaku 20 tahun.
Aku anak gadis
sama seperti kalian memiliki keluarga yang lengkap dan berkecukupan, aku
memiliki banyak teman, dan memiliki sifat layaknya gadis seumuranku, tapi
setelah kejadian itu terjadi aku tidak lagi embun yang mereka harapkan. Aku
Embun, usiaku 20 tahun.
***
“Embun?”
sapa seseorang dibelakangku. Tubuhku membalik ketika seseorang tersebut
mengucapkan namaku dengan suara yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Sosok
tersebut tinggi, kurus, dan warna kulitnya yang sawo matang menyunggingkan
senyuman yang ntah apa maksudnya.
“Anda
siapa?” tanyaku, tanganku sibuk menyibakkan anak rambut yang tertiup angin
sehingga menghalangi pandanganku.
“Aku
teman” jawabnya tetap tersenyum.
“Maksudnya?
Aku tidak mengenalmu, bagaimana mungkin kau menyebut dirimu teman sedangkan
kita belum saling mengenal sebelumnya.”
“Terkadang
banyak hal yang tak kita kenal tapi kita sangat dekat dengannya, tak selamanya
siapa yang kau kenal dan mengenalmu akan mengetahui banyak tentangmu, bahkan
terkadang seseorang yang tak kenal dirimu lebih mengenal siapa kamu sebenarnya.
Embun mungkin saat ini kau memang tidak memahami apa yang aku katakana tapi
setelah kau mengetahui apa yang terjadi kau akan memahami bahkan menyetujui apa
yang aku katakan.” Tiba sosok tersebut
menghilang dari pandanganku.
Seketika
tubuhku terasa terguncang hebat, keringatku bercucuran, dan badanku panas
dingin tak karuan aku mendengar suara wanita memanggil namaku aku tahu persis
suara itu ya itu adalah mama yang sejak daritadi membangunkanku.
“Embuunn…embunn
bangunn” teriak mama sambil mengguncang-guncangkan tubuhku.
Mataku
belum terbuka sempurna, pandanganku masih kabur, dan kepalaku terasa sangat
berat sekuat tenaga aku membuka mata agar terbuka sempurna disampingku mama
terus memanggil namaku dan beliau sedikit terisak, butuh waktu lama sampai
akhirnya aku bisa membuka mataku dengan sempurna. Aku bingung ketika melihat
sekeliling semua dinding berwarna putih dan hanya mama yang berada disampingku,
banyak slang yang menempel ditubuhku aku bingung apa yang terjadi tapi aku tak
bisa mengatakannya karena mulutku sulit untuk dibuka.
“Naakkk..
sukurlah kamu sudah sadar, mama sangat mencemaskanmu sudah 10 hari kamu koma”
isak mama sambil memeluk tubuhku yang kurasa sangat kurus.
Aku
dapat mencerna kata-kata mama dengan baik, aku terkejut dengan pengakuan mama
yang mengatakan aku koma, apa yang terjadi padaku. Sekuat tenaga aku coba
membuka mulut tapi nihil.
“Kamu
jangan tinggalin mama ya nak, mama akan selalu menjagamu” pelukan mama makin
erat. Ingin sekali aku membalas pelukan beliau tapi apa daya aku tak memiliki
banyak tenaga untuk itu.
Dunia
ini begitu asing untukku setelah sepuluh hari terakhir banyak kejadian yang aku
alami dan tak kumengerti, banyak hal yang ingin aku cari tapi ntah kemana aku
bisa menemukannya. Saat ini aku hanya seseorang yang terbaring lemah di tempat
yang sangat pengap dan banyak slang yang menempel ditubuhku, mereka bilang aku
harus istirahat banyak tapi bagaimana mau istirahat jika segudang pertanyaan di
otakku selalu ingin tahu apa jawabannya.
Lima
hari setelah siuman aku mulai pulih setidaknya dari yang kudengar dokter telah
mengizinkanku pulang, dengan menggunakan kursi roda mama membantuku
mendorongnya di parkiran depan rumah sakit taksi telah menunggu kami, aku
digendong oleh dua perawat untuk masuk kedalam taksi.
Selama
lima hari setelah siuman aku belum pernah berbicara sepatah katapun hanya mama
yang selalu menceritakan cerita-cerita dongeng, aku mendengarkan beliau tapi
tidak mendengarkan sepenuhnya otakku selalu bertanya dan menerka-nerka apa
jawabannya.
Taksi
terus melaju, dipikiranku taksi ini akan membawa kami ke rumah tapi aku sangat
salah menduga karena taksi ini membawa kami ke sebuah tempat pemakaman umum,
aku bingung untuk apa mama membawaku kesini siapa yang telah berpulang. Tuhan
apa yang terjadi sebenarnya.
Dibantu
supir taksi aku duduk kembali di kursi roda mama masih diam, beliau hanya
mendorong kursi rodaku dengan hati-hati sampai akhirnya kita sampai di suatu
makam. Samar-samar aku melihat makam siapa itu sampai akhirnya aku terkejut
setengah mati aku melihat di makam tersebut tertera nama ayah, air mataku
bercucuran seperti hujan yang datang tiba-tiba di hari yang cerah aku ingin
sekali berteriak tapi aku tak bisa mengeluarkannya teriakanku hanya sampai di
tenggorokan aku terus menangis dan menangis, apa yang terjadi dengan ayah. Mama
memelukku, menenagkanku dalam pelukannya dan ia pun ikut terisak.
“Embun..
maafkan mama karena tak memberitahumu sejak kamu mulai siuman, mama hanya tak
ingin kamu tiba-tiba shock, lima belas hari yang lalu kamu dan ayah mengalami
kecelakaan saat kalian diperjalanan pulang, ayah tak dapat diselamatkan dan
meninggal di tempat dan kamu pada saat itu langsung dalam keadaan koma,
ikhlaskan ayah ya naakk..” mama terisak-isak menjelaskannya kepadaku.
Tangisku
semakin pecah “Tuhaannn.. secepat inikah kami harus terpisah?” aku menjerit
didalam hati, langitpun seolah ingin berduka awan yang semula cerah kini
berubah menjadi hitam, mama menolongku untuk berdiri tapi aku tak mau aku masih
ingin disini bersama ayah.
“Kita
harus pulang nak.. kamu harus istirahat, besok mama akan menemanimu lagi kesini
ayah tidak akan suka kamu seperi ini, ayoo naakk..” mama kembali menolongku
berdiri dan kali ini aku menurut.
Mama
mendorong kursi rodaku meninggalkan peristirahatan ayah yang terakhir, aku tak
tega meninggalkan ayah sebentar lagi hujan akan turun dan ayah pasti kedinginan
dan basah, aku kembali teringat ketika ayah memberikan jaketnya untukku ketika
hujan turun pada saat kami sedang liburan dan sekarang ayah hanya terbungkus
oleh kain putih yang tipis. Ayaaahhh… maafkan aku.
***
Seminggu
setelah kejadian tersebut keadaanku berangsur normal, aku kembali ke aktifitas
semula yaitu kuliah, untungnya teman-teman banyak yang menyemangatiku dan tidak
banyak bertanya ataupun meminta penjelasan mengenai kejadian tersebut dan itu
cukup membantu untuk pemulihanku dan aku tak selalu sedih karena ayah
meninggalkanku.
Malam
empat puluh ayah pergi rumah kami ramai kedatangan kerabat, teman, dan tetangga
untuk mengikuti tahlilan aku bermunajat kepada Allah agar ayah ditempatkan di
surge dan tersenyum melihatku disini. “Ayah aku merindukanmu”.
Setelah
semua acara selesai, dan membantu mama beres-beres aku langsung masuk kamar, badanku
terasa lelah hingga akhirnya aku tertidur.
“Embun?”
sapa seseorang dari belakang. Aku menoleh, tanganku sibuk menyibakkan anak
rambut yang menutupi pandanganku.
“Anda
siapa?”
“Aku
teman.” Jawabnya dengan senyuman yang memliki arti tersendiri
“Tunggu..
bukankah kita pernah bertemu sebelumnya?” aku sangat yakin kami pernah bertemu
sekitar 2 buan yang lalu.
“Kamu
benar.. bagaimana keadanmu?” tanyanya basa-basi.
“Siapa
kamu sebenarnya, dan apa maumu?” aku tak menanggapi pertanyaan basa-basi
murahan tersebut.
“Aku
hanya ingin menjadi temanmu”. Jawabnya santai.
“Aku
tak mengenalmu dan aku tak ingin berteman denganmu, berhenti menghantuiku dan
lenyalah!!!”
Seketika
sosok tersebut menghilang dari pandanganku, dan pada saat itu juga aku
terbangun. Napasku sesak, keringatku bercucuran.
“Cuma
mimpi..”
Tiba-tiba
angin bertiup sangat kencang, jendela kamarku terbuka cahaya bulan menyemburkan
sinarnya membuat kamarku seketika terang. Aku beranjak dari tempat tidur dan
berjalan kearah jendela, belum sempurna aku tiba di sisi jendela langkahku
terhenti oleh sosok yang berada dimimpiku kini berada di balik jendela, aku
ketakutan setengah mati tampangnya memang tak menyeramkan tapi itu cukup
membuatku kaget karena kehadirannya yang tiba-tiba.
“Hai..
Embun” sapanya dengan senyuman seperti biasa.
“Apa
maumu, kenapa kamu selalu mengikutiku?”
“Aku
hanya ingin menjadi temanmu, sederhana bukan.”
“Oh
Tuhaann.. apa kamu tidak mengerti harus berapa kali aku bilang aku tidak ingin
menjadi temanmu dan pergilah jangan ganggu kehidupanku.”
Sosok
yang diajak bicara hanya tersenyum bahkan tertawa kecil dan itu membuatku
semakin kesal, ingin sekali aku melempar sandal jepit yang kupakai ke wajahnya
tapi niat itu aku urungkan.
“Tolong
aku tidak ingin diganggu oleh makhluk sepertimu” kataku lirih.
Yang
diajak bicara hanya tersenyum bahkan mendekat kearahku, sontak aku mundur
beberapa langkah tapi sial aku terjepit punggungku sudah mentok tiba di dnding
dan sosok itu kini berrdiri beberapa senti didepanku. Dengan jarak yang sangat
dekat tersebut aku bisa melihat wajahnya dengan jelas, seketika aku langsung
tenggelam dalam tatapan tajam matanya yang aku akui sangat mempesona.
Semenit
kemudian aku langsung sadar dan mendorong sosok itu menjauh dari hadapanku.
“Pergi
kau dari sini, kalau tidak aku akan berteriak” ancamku.
“Silahkan,
perlu kamu tahu yang bisa melihatku hanya kamu jadi jika kamu berteriak dan
mengatakan ada penyusup di kamarmu aku yakin mamamu akan menelpon psikiater
untuk memeriksa kejiwaanmu. Tenang sedikit, aku hanya ingin kamu menerima
pertemananku dan semua selesai”.
Aku
tak memiliki cara lain untuk mengusirnya, dengan sangat berat hati dan sangat
terpaksa aku menerima uluran tangan sosok menyebalkan tersebut.
“Rey”
katanya dan menjabat tanganku dengan penuh senyuman kemenangan. Aku diam dan
melepaskan jabatan tersebut.
Dia
menatapku dengan matanya itu, aku menggerutu kenapa dia tak enyah juga dari
hadapanku. “Tunggu apa lagi?!” tanyaku membentak.
“Apa?”
jawab Rey dengan gaya yang sok tahu apa-apa.
“ENYAAHHHHLAHHH
DARI PANDANGANKU” kali ini aku tak bisa lagi membendung amarah, masa bodo mama
atau seluruh tetangga akan bangun dari tidur mereka.
Sedetik
kemudian angin kembali bertiup kencang, dan pada saat itu sosok yang
menyebalkan itu hilang dari hadapanku. Aku lihat sekeliling untik memastikan
dia betul-betul telah pergi.
***
Sebulan
telah berlalu setelah kejadian yang terjadi pada malam itu, aku bersyukur
karena dia tak pernah menampakkan sosoknya lagi tapi setelah malam itu juga aku
merasa ada yang berbeda dalam diriku, aku merasa aku tak sendiri. Ketika aku
sedang berpikir keras ada saja yang menuntunku untuk melakukan hal yang membuat
aku normal kembali, dan sebulan ini juga aku terbantu oleh keadaan ini.
“Eh
mbun mbun..” Lala yang duduk disebelahku menyikut tanganku dengan sikunya.
“Apaan
sih La”
“Liat
deh, itu Aldi kan? Kok makin kesini-sini dia makin cakep aja ya.”
Akupun
seketika memperhatikan Aldi yang sedang berdiri sambil mengetik ponselnya. “ Biasa aja ah” komentarku.
“Yee..
elo mah semua cowok biasa semua, makanya pacaran dong ini betah banget
ngejomblo.”
“Yaelah
cowok mah ntaran aja lagian musingin lo nggak pernah nonton berita apa Cuma
gara-gara cinta masa depan hancur, hiii kalo gue mah ogah” jawabku membela
diri.
“Itu
mahh bagi orang yang mau aja dibutakan cinta dan selalu mengandalkan perasaan,
lagian kalo lo pacaran emang bakalan begitu juga?”
“Kagaklah,
ogah gue mah mending ga punya pasangan sekalian deh”.
“Huss..
dijaga neng omongannya perkataan itu doa loh”.
“Iya-iya..
yaudah yuk ke kelas ngapain sih debatin yang nggak penting kek gini”.
Lala
adalah sahabatku, kami selalu berdua dan dia juga memiliki pengaruh besar untuk
hidupku tanpa Lala aku bukan apa-apa dan Lala tanpaku itu juga bukan apa-apa,
perawakannya yang selalu ceria selalu berhasil menghiburku ketika aku dalam
masa-masa tersulit, dan Lala juga orang yang rela menghabiskan waktunya untuk
menjagaku di rumah sakit setelah mama.
Dunia
perkuliahan memang dunia yang berbeda, di dunia ini kita lebih banyak menemukan
orang-orang yang memiliki sifat yang berbeda di dunia ini juga kita bisa
melihat orang-orang yang tulus atau hanya pura-pura. Dan untungnya Tuhan
mempertemukanku dengan Lala, aku bersyukur untuk itu.
***
Kehidupanku
berjalan normal-normal saja tidak ada yang aneh dan tidak ada pula yang special
semuanya berjalan datar, sampai akhirnya kejadian yang tak pernah aku inginkan
tapi aku nantikan datang ke dalam kehidupanku, kehadirannya seperti api yang
siap membakar semuanya tapi sangat dibutuhkan untuk menghangatkan.
Jam
menunjukkan pukul 22.00 WIB, mataku masih saja tak mau dipejamkan, tak ada yang
aku pikirkan hanya saja badanku terasa sedikit panas dan kepalaku agak berat,
aku mengartikan ini sebagai sesuatu hal yang wajar tapi yang sebenarnya terjadi
diluar dari kewajaran.
Malam
ini mama pergi keluar kota urusan kantor, aku menghubungi Lala untuk menginap
dirumah ternyata dia sedang berada di rumah sodaranya alhasil aku sendirian.
Setelah mengerjakan tugas kuliah aku berbaring, badanku sudah terasa panas aku
ambil obat di dalam kotak P3K, aku minum dan berharap setelah itu tertidur
ternyata semua itu jauh dari kenyataan.
Malam
semakin larut, mataku semakin menyala kubuka jendela kamar untuk menghirup udara
malam, setelah jendela terbuka sempurna sosok yang berblan-bulan tak kuharapkan
kehadirannya datang, kali ini aku tak ingin banyak berkomentar ataupun marah
aku terlalu lelah dan malas menanggapi mala mini kubiarkan saja dia melakukan
apa yang dia mau.
Sosok
tersebut tersenyum, ya kembali dengan senyuman yang khas.
“Hai
Embun..” sapanya seperti biasa.
Aku
tak menanggapinya, aku berbalik menuju tempat tidur dan ntah bagaimana cara dia
masuk kini sosok yang bernama Rey itu berdiri di sampan ranjang. Aku masih
diam, aku terlalu lelah menanggapinya.
“Embun,
bagaimana keadaanmu?”
“Baik”
jawabku singkat.
“Tapi
kamu terlihat tidak baik”
“Sepertinya,
mungkin keadaanku berubah karena kehadiranmu”
Tiba-tiba
dia menyodorkan segelas air putih kepadaku. Aku hanya menatapnya dan menatap
air dipegangnya.
“Minumlah”
katanya dengan suara yang begitu lembut.
Aku
hanya diam dan kembali menatapnya.
“Apa
yang kamu lihat, ini minumlah”.
Ntah
apa yang bersarang di otakku, sejurus kemudian aku mengambil gelas itu dan membuangnya,
terdengar pecahan kaca yang cukup keras karena malam yang sunyi. Dia hanya
menatapku, aku menatap gelas yang ku pecahkan.
“Apa
yang kamu lakukan?” terdengar suaranya yang mulai mengeras.
“Membuangnya”
jawabku sekenanya.
Kami
berdua diam yang terdengar hanya bunyi jangkring yang menjadi okestra di malam
hari. Beberapa menit kami masih terdiam tak ada kata yang terucap dari bibir
kami masing-masing kami hanya sibuk dengan pikiran yang tak tahu apa inginnya.
“Baiklah
aku pergi” kata Rey tiba-tiba. Dia berjalan kearah jendela, ntah apa yang
mendorongku tiba-tiba menghentikannya.
“Tunggu”
tanganku meraih tangannya. Langkahnya terhenti dan menoleh kearahku. Sekali
lagi aku masuk kedalam mata yang mempesona itu,
“Ada
apa?” tanyanya tanpa melawan.
“Aku
hanya ingin tahu apa maksudmu selama ini menemuiku, dan apa inginku. Alasanmu
yang hanya ingin menjadi temanku aku yakin itu hanya bualanmu saja.”
Yang
ditanya hanya diam dan mengambil posisi duduk disampingku. Aku membiarkannya.
Dia
menarik napas panjang.
“Baiklah
mungkin ini saatnya aku harus mengakhiri kepura-puraan ini, alasanku sebenarnya
datang menemuimu sejak kau dalam keadaan koma adalah aku ingin membawamu
kedalam duniaku.”
“Apa
maksudmu?”
“Embun..
aku adalah seseorang yang ingin merasakan kesejukanmu, semenjak kita bertemu di
lorong kampus aku melihatmu berbeda dari wanita lainnya, dan sejak saat itulah
aku ingin mengenalmu lebih dalam tapi sayang kamu terlalu sinis terhadap pria
dan membuatku takut takut untuk mendekatimu.”
Embun
mendengarkan penuturan Rey tanpa memotongnya. Dan dia teringat, memang waktu
itu dia bertabrakan dengan seorang lelaki tapi Embun waktu itu tak
memperhatikan wajahnya,
“Aku
selalu berharap Tuhan mempertemukan kita, dan kini doaku terjawab karena
akhirnya aku bisa berbicara dengan embunku”.
Terlihat
dari mata Embun mulai berkaca-kaca mendengar penjelasan dari Rey.
“Kamu
tahu pada hari kecelakaan itu, aku juga mengalaminya waktu itu aku pulang dari
kampus dan tiba-tiba motor yang kubawa tak bisa ku kendalikan dan aku terjatuh
ke sungai, dan pada saat itu juga aku tewas dan keinginanku terakhir aku ingin
menyapamu. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan dan ntah apa yang membawaku
pada saat itu melihatmu di tepi danau dank au begitu cantik, aku pikir aku saat
itu telah berada di surga. Tapi saat aku menghilang aku menyadari bahwa dunia
kita telah berbeda. Aku ingin sebelum aku benar-benar lenyap seperti
keinginanmu aku ingin mengucapkan terimakasih karena kau telah bersedia
menerimaku sebagai temanmu. Bagiku kau tidak hanya sekedar embun yang
memberikan kesejukan tapi kau juga matahari yang selalu memancarkan kehangatan
bagi siapa saja yang berada didekatmu”.
Embun
tak dapat lagi membendung air matanya, bukannya terharu akan cerita Rey tetapi
dia merasa sangat bodoh karena tak menyadari semua hal ini.
“Embun
waktuku tak banyak, aku akan pergi dan tak akan kembali lagi mungkin aku akan
berada di dekat ayahmu. Tetaplah menjadi embun dan matahari karena tanpa adanya
kau daun akan jatuh kering dari pohonnya, dan sesekali jadihlah hujan karena
tanpa adanya hujan embun takkan pernah ada dan matahari takkan pernah berarti.”
Seketika
itu aja cahaya putih menyilaukan pandangan Embun, dan sosok tersebut kini
menghilang untuk selama-lamanya.
Embun
hanya bisa menangis, dia tak menyangka ada orang yang begitu sayang tulus
kepadanya dan dia menyesali semua perbuatannya yang tak selalu mengusir Rey.
“Rey…
terimakasih untuk semua yang telah kau lakukan selama ini untukku, aku janji
aku akan tetap menjadi embun dan matahari agar kau selalu merasakan kesejukan
dan kehangatanku. Terimakasih Rey, andai waktu berpihak pada kita. Tenanglah
disana, salam untuk ayahku.”
-S E K I A N-
Quote:
“Seseorang
adalah embun, matahari, dan hujan untuk seseorang yang lain.”