2017/01/25

Aku Lebih Suka Jadi Petani Daripada Mantan Pacarmu


Jika kamu adalah mie instan, maka aku adalah bumbu-bumbu untuk menumisnya. Apalah artinya hanya mie instan tanpa ada pelengkap rasa.
Memang sah saja hanya sekedar mie instan, tapi tidakkah terasa hambar jika hanya kau sendirian? Sedangkan aku yang selalu ada dimana-mana siap dijadikan bahan pelengkap dan menambah rasa kenikmatanmu meskipun kau sendiri saja memang nikmat.

"Hai apa kabar?". Sapamu.

Aku yang sedang membaca buku terperanjat seketika mendengar suaramu yang bisa membuatku dag-dig-dug tak karuan.

"Ba.. ba.. baik". Jawabku terbata-bata. Aku mengumpat dalam hati kenapa aku bisa sebegini grogi nya di dekatmu, padahal kita hampir bertemu setiap hari, hanya saja beda kelas.

Oh ya, sebelumnya kita berkenalan di perpustakaan kampus kami diperkenalkan oleh teman kami masing-masing.

Tanpa ku tawarkan kau mengambil kursi disebelahku dan mendudukinya, jantungku serasa mau lepas dari tubuhku kucoba tutupi kegrogianku dengan pura-pura tetap membaca buku.

"Nis, lo kenapa sih gue kok dicuekin?".
"Ngg.. gak kok, ada apa btw?".
"Nggak ada tadi gue balikin buku eh liat lo yaudah gue samperin aja".

Seketika mukaku memerah, mungkin itu adalah hal yang sangat biasa tapi bagiku itu sebuah magnet tersendiri yang membuatku tertarik makin dalam pada perasaan yang telah datang selama 2 minggu belakangan ini.

Namanya Adil, beberapa minggu belakangan ini setelah pekenalan itu kami makin dekat. Dan selain dikampus kami juga saling komunikasi melalui whatsapp. Entah memang aku yang gampang merasa nyaman, Adil beberapa minggu belakangan ini sering memberikan perhatian kepadaku dan beberapa kali juga ia mengantarkanku pulang. Aku mulai masuk pada kenyamanan ini dan... ya.. aku tak ingin ini berakhir.

"Nis, kok lo bengong sih. Oya Nis gue boleh minta tolong ga?".
"Apa Dil?".
"Gini, kita kan ada tugas tuh nah gue nggak paham-paham banget lo bisa nggak terangin ke gue".
"Hmmm.. emang bagian mananya yang nggak ngerti".

Singkat cerita Adil pun menjelaskan hal yang tak dipahaminya.

"Yaudah Dil, gue bantu bikinin aja lagian itu sedikit kok". Entah kenapa aku nawarin diri buat bikin tugasnya. Mungkin karena perasaan ini. Sial memang.
"Seriusan Nis?" Jawaban Adil dengan mata berbinar.
Aku mengangguk sambil tersenyum.
Adil tak kalah girangnya sebelum ia pamit ia berkata "Nis, makasih banget ya. Oya sebagai ucapan terimakasih gue besok kita ngopi yok, gue yang traktir. Gimana?".
"Tawaran yang bagus, asalkan besok tidak hujan ya. Kan sekarang musim hujan gitu".

Adil pun pergi dengan senyum penuh kebahagiaan. Dan aku yang tak kalah bahagia karena besok aku akan menikmati kopi dengan Adil. Ah senangnya. Selain karena aku yang juga mencintai kopi rasanya kali ini akan ada kebahagiaan yang sejalan karena aku dapat menikmatinya bersama Adil.

Setelah hari itu dan kami tentunya pergi ngopi karena keesokan harinya Tuhan memberikan langit yang cerah. Aku begitu menikmati saat-saat bersamanya, baik dulu, kini, dan mungkin nanti. Bersamanya aku tak habis bahan cerita, bersamanya dunia terasa lebih banyak warna, aku suka caranya berbicara, aku suka caranya menyesap kopi sambil sesekali menghisap rokoknya.

Berjalanannya waktu, rasa nyaman ini semakin menjadi, aku tak ingin benar-benar semua ini berakhir, dan anganku adalah ingin selalu merasakan ini selamanya.
Aku sekarang seperti bahan pelengkap pada mie instan, aku merasa aku dan Adil adalah paket komplit seperti mie instan dan aku sebagai bahan tumisannya. Rasanya pas.

Setengah tahun dan libur semester datang, komunikasi menjadi tak seintens dulu. Aku mulai risau karena lambat laun Adil mulai berubah, dia tak lagi seintens menanyaiku hal kecil seperti kemarin. Apa yang terjadi, entahlah. Ku harap dia baik-baik saja.

Sekarang, komunikasi yang jarang itu benar-benar terputus. Dan tak lama kemudian aku melihat Adil upload foto dirinya dengan seorang gadis seusia kami. Begiti dekat. Senyum yang terpampang sepertinya mereka amat bahagia. Aku patah.

Aku tertawa sinis dalam hati, seharusnya aku tak begitu memelihara perasaan ini bukan karena aku tau bahwa perasaanku tak benar-benar kau rasakan. Dan detik ini ada hal yang aku sadari bahwa kau tak lebih dari sekedar ingin memanfaatkanku bukan, ah Adil setidaknya terimakasih untuk perasaan yang berhasil kau ciptakan di hatiku. Atas apa yang kau tanam Dil, aku sekarang sudah menuainya. Aku menjadi petani atas perasaanmu aku menerima padinya darimu, menanamnya, memberinya pupuk, dan sekarang padi itu hanyalah hampa. Dan aku lebih suka menjadi petani daripada menjadi mantan pacarmu.

Dan bagiku Dil kini aku tak begitu menyukai kopi lagi, karena yang pasti teringat adalah dirimu padahal aku mengenal kopi jauh dari aku mengenalmu. Aku tak tahu pasti kini aku sedang melupakanmu atau merelakanmu untuk yang lain. Tapi bagiku, keduanya serasa berjalan bersamaan, sehingga kini aku mungkin akan jauh meninggalkan kisah lama itu dan takkan menolehnya lagi.

Terimakasih untuk rasa yang pernah ada.
Tertanda

Annisa.

Tidak ada komentar:

Tidak Apa-Apa Jika Sendiri

Tulisan ini tercipta saat saya sedang menunggu masuk ke sebuah studio untuk menonton. Hari ini tanggalnya cantik sangat bahagia melihat ora...