By: Yolla Dwi Mutia
Semilir angin
berhembus menyapa setiap apa yang dihadangnya, di puncak pencakar langit ini
kubentangkan tanganku selebar-lebarnya seolah angin memelukku dengan mesranya.
Kunikmati detik demi detik pelukan itu semakin dalam kurasakan semakin dingin
ia terasa. Suara gaduh dibawah seolah tertutupi dengan sinar rembulan yang
sangat indah, keindahan ciptaan Tuhan yang selalu bisa membuatku terbuai
olehnya.
Namaku Fandi, banyak alasan mengapa
aku tiap malam berada disini salah satunya adalah menunggu kedatangan
seseorang. Seseorang yang sudah berjanji padaku untuk segera menemuiku di atap
gedung ini tapi ntah mengapa setelah setahun berlalu perjanjian itu, dia tak
kunjung datang tapi aku berusaha meyakinkan diriku kalau dia akan datang makanya
aku kesini setiap malam. Mataku berkeliaran kemana-mana berharap dapat melihat
sosok yang kucari ternyata nihil sudah hampir 3 jam aku menunggu tapi dia tak
kunjung datang, sehingga kuputuskan untuk pulang dengan membawa rindu seperti yang
kulakukan setahun belakangan ini. “Mugkin memang benar pertemuan tak mau
bersahabat denganku” , ucap batinku.
Langkahku gontai menuruni tiap anak
tangga, mugkin ia juga jenuh melihatku yang selalu menuruninya dengan wajah
yang murung. Jangankan anak tangga aku saja muak kalau harus seperti ini terus.
Beberapa anak tangga sudah kuturuni sehingga sampailah aku di lobi gedung.
Orang-orang mulai sepi karena jam sudah menunjukkan pukul 01.15 WIB. “Ah..
malas sekali rasanya kalau harus pulang” ucap batinku kembali. Sehingga malam
itu juga kuputuskan untuk tidak pulang ke rumah.
Keluar dari gedung kutelusuri tiap
jalan yang kulewati, dengan keadaan muka ditekuk ku terus berjalan, berjalan,
dan berjalan sehingga untuk sekian lama baru kusadari kalau aku sudah berjalan
terlalu jauh dan tidak tahu sekarang berada dimana. Keteledoranku membuatku
setengah mati ketakutan, kini di sekelilingku hanya pepohonan yang lebat dan
beberapa penerang jalan. Tak ada satupun makhluk hidup yang lewat, aku
benar-benar kebingungan saat kulihat handphoneku ternyata tak ada signal.
“Siaaalll” amarahku. Mataku sibuk mencari-cari tempat yang bisa dimintai
pertolongan, otakku sibuk mengutuk diriku yang terlalu ceroboh ini, hatiku
sibuk dengan rasa takut yang menghantuiku kini, dan tanganku sibuk mencari-cari
signal. Tak ada titik terang dari semua itu sehingga malam itu juga kuputuskan
untuk terus berjalan daripada harus diam saja berdiri tanpa ada seorangpun.
Kutelusur jalan tersebut dengan
wajah yang tak ditekuk lagi, kini mata dan telinga kutajamkan lengah sedikit
saja aku akan kehilangan kesempatan. Cukup lama kuberjalan dengan lingkungan
yang masih terlihat seperti hutan itu hingga pada akhirnya sampailah aku pada
sebuah persimpangan. Jalan tersebut terbagi menjadi 3 simpang, aku bingung
harus menelusuri yang mana sehingga kuputuskan untuk belok kearah kanan.
Perjalananku kini tak sia-sia aku bisa melihat beberapa orang yang lalu lalang,
perasaanku mulai lega tapi tak seutuhnya karena aku belum tau dimana aku
sekarang.
“Maaf pak menganggu
waktunya sebentar saya mau tanya ini daerah mana ya pak?”
“Loh.. emang ade
ini darimana?”
“Saya dari
kantor saya di sana pak, Perusahaan X”
“Lalu kedatangan
ade kesini ada keperluan apa?”
Karena tak mau bertele-tele aku
ceritakan semuanya kepada bapak tersebut, tampak dari raut wajahnya keheranan
mungkin dia menganggapku sebagai anak muda yang labil. Mungkin. Setelah
menceritakan hal itu bapak tersebut langsung memberitahuku kemana arah menuju
jalan besar, tak mau menunggu lama setelah mengucapkan terima kasih aku
langsung mengikuti tiap jalan yang bapak tadi informasikan. Dan malam itu juga
petualanganku dimulai.
Jam sudah menunjukkan pukul 03.00
WIB, aku masih terus mencari jalan keluar dari tempat ini, tapi tak ada
petunjuk apapun seperti yang diterangkan oleh bapak yang kutemui tadi. “Apakah
dia berbohong? Kalau iya untuk apa?”. Tak ada gunanya juga kalau sekarang aku
mengumpat toh hal itu juga tak akan bisa membantuku untuk keluar dari sini. Aku
mulai lelah, lebih tepatnya sangat lelah tak jauh dari tempat ku berdiri ada
sebuah bongkahan batu, tak pikir panjang lansung saja kududuki batu itu.
Melihat keadaan sekitar membuat bulu
kudukku berdiri tapi segera ku tepis karena aku yakin Tuhan lebih dekat
denganku daripada makhluk lain apapun itu jenisnya. Kututurkan doa demi doa
berharap pertolongan Tuhan datang padaku. Sejenak mataku terhenti pada sebuah
jalan setapak yang berada tak jauh dari tempat ku berdiri, feeling ku pun
mengatakan kalau aku harus menelusuri jalan tersebut. Setelah meyakinkan diriku
akhirnya kuputuskan untuk kesana ada rasa ragu menghampiri karena takut kalau
di dalam sana akan lebih menyeramkan lagi tapi tak ada gunanya juga dia disini
tak ada titik terang yang ditemukan.
Akupun menyerahkan diriku sepenuhnya
kepada Tuhan apapun yang terjadi pasti itulah yang terbaik untuk diriku. Dengan
langkah yang penuh tanda tanya ku kuatkan diriku untuk segera menuntaskan
petualangan ini, tapi jauh dari yang kuharapkan ternyata inilah awal dari
semuanya. Sudah hampir setengah jam aku melewati jalan setapak ini semakin ke
dalam semakin abstrak yang terlihat lampu penerang jalanpun semakin memudar
sampai pada akhirnya semua menjadi gelap, cepat-cepat ku rogoh korek api yang
terdapat di dalam saku celanaku kulihat sekelilingku kini hanya pohon-pohon
tinggi secara cepat kusimpulkan kini aku berada di dalam hutan belantara.
Ketakutan mulai merasuki seluruh jiwaku ingin sekali rasanya berteriak dan
menangis sekencang-kencangnya tapi kuingat kembali aku adalah laki-laki tak
sepatutnya aku bersikap seperti itu. Korek yang kupegang mati kunyalakan
kembali, dan kegiatan itu berulang sampai aku benar-benar sudah mendapatkan
penerangan. Ingin rasanya memutar arah tapi perjalananku sudah terlalu jauh dan
itu artinya aku menyerah.
Ku kembali berjalan lebih dalam,
belum sempat ku bernapas lega kini kusudah dikejutkan oleh beberapa pemakaman
dengan batu nisan yang menghiasi tiap tempat itu. Siapapun yang berada disini
dalam keadaan seperti ini mungkin akan mati berdiri, dapat kulukiskan saat ini
kuberada di hutan belantara dengan perangan hanya sebatang korek api dan tepat
dihadapanku ada pemakaman. Tak banyak yang dapat kulakukan selain berdoa dalam
hati agar Tuhan memberikanku mukjizat agar aku bisa terbang dan keluar dari
tempat yang menyeramkan ini.
Tiba-tiba saja kakiku berjalan
kearah salah satu makam, ntah bagaimana aku bisa berjalan kesana aku merasakan
ada sesuatu yang mendorongku dan mengangkat kakiku untuk melangkah. Aku tak
dapat melihat pemakaman siapa itu dan kenapa aku harus berdiri disana kenapa
tidak di makam yang lain. Kunyalakan sebatang korek yang masih tersisa
kuarahkan kearah batu nisan agar aku dapat melihat makam siapa itu.
“APAAAAAAAAAA???” aku histersis
seketika bulir-bulir air mataku menetes, lebih tepatnya sekarang aku menangis
sejadi-jadinya. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat dan kubaca kupeluk batu
nisan itu, kuhempaskan tubuhku ke tanah memeluk makam nya seolah aku memeluk
seseorang di dalamnya. Kucoba meyakinkan kalau hal itu salah kucoba membaca
ulang dengan hati-hati dan perlahan, ternyata memang benar kalau di batu nisan
tersebut tertulis jelas nama PUTRI RARA, tertera juga disana tanggal
meninggalnya yaitu tanggal 9 September 2013. Aku tak dapat menahan emosiku lagi
kuluapkan seluruhnya di makam Rara.
“Rara ada apa ini?
Apa maksudnya? Rara jawab aku raaaa.. kamu janji kalau kita akan bersama, rara
banguuunn ini bukan kamu kan. Raraaaaaaaaaaaaaaaaaa” tangisanku meledak.
Tepat saat itu juga aku tersadar
dari tidurku, kulihat sekeliling kini kuberada di kamarku tubuhku basah oleh
keringat, untuk meyakinkannya ku tampar pipiku berkali-kali den kucubit
tanganku ternyata benar itu semua hanya mimpi. Tapi apa maksudnya? Perasaanku
tak enak, aku merasakan akan ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi kepada
wanitaku, ya wanitaku gadis cantik yang ramah dan sangat baik bernama Rara,
kami telah menjalin kasih selama 4 tahun dan kami dipisahkan oleh jarak karena
Rara harus melanjutkan pendidikannya ke luar kota.
Ku berdoa sepenuh hati agar tak
terjadi apa-apa dengan Rara karena hari ini Rara akan pulang. Aku tersentak..
“Hari ini? Tanggal 9 September?
Tunggu di makam itu? Nggak-nggak nggak mungkin nggak mungkin” Aku segera
bangkit dari tempat tidur dan mandi. Diperjalanan menuju bandara perasaanku
sangat tidak enak aku masih terus memikirkan Rara, belum sempat sampai di
bandara aku mendengar kabar kalau ada pesawat jatuh dan yang menyakitkan itu
pesawat yang Rara tumpangi.
Mataku mulai meneteskan air mata,
apakah semalam itu sebuah pertanda. Aku tak dapat mempercayai itu semua kuputar
balikkan mobilku menuju rumah kembali di televisi pemberitaan sudah sangat
banyak. Dan kini yang lebih meyakinkanku dan mengejutkanku adalah tempat
jatuhnya pesawat tersebut persis di sebuah hutan yang menuju kesana melewati
jalan setapak. Ya jalan setapak itu, jalan yang kulewati semalam dan menemui
makam Rara.
Aku tertunduk lesu, apakah ini
caramu untuk mengobat rinduku Ra? Apakah ini? Aku tak dapat lagi menahan
kesedihanku kukeluarkan semuanya sampai aku benar-benar merasa lega. Kini,
kuarahkan mobilku kesebuah gedung dan menuju atapnya kulakukan hal yang sama
dengan dimimpiku, tiba-tiba ku merasakan ada pelukan hangat yang sangat ku
rindukan, pelukan itu berasal dari arah punggungku, kubalikkan badanku dan kini
tepat dihadapanku ada sosok Rara, dia tersenyum kepadaku. Dia memelukku aku
masih terpaku, kunikmati pelukan yang sudah lama kurindukan. “Aku mencintaimu,
hapuslah air matamu sayang” Rara membisikkan kata tersebut ditelingaku dengan
lembut dan kemudian hilang.
Aku terdiam untuk beberapa waktu
yang lama, sampai pada akhirnya kubalas dengan linangan air mata. “Aku juga
mencintaimu bidadariku, jadilah bidadari di surga Tuhan sekarang. Dan jemputlah
aku ketika kita bertemu nanti di sana”.
SEKIAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar