Sejak
malam hingga pagi ini hujan belum juga berhenti, tapi sederas apapun hujannya
tak pernah membuat kota ini sepi akan kegiatannya ada saja yang dilakukan
orang-orang mulai dari pagi hingga pagi kembali. Tapi hujan yang tidak begitu
deras ini membuatku bermalas-malasan diatas kasur kapuk yang bagiku sangat
nyaman. Sedari tadi sudah banyak pedagang di luar yang menjajakan dagangannya
dengan semangat mulai dari suara khas tukang sayur, suara mangkuk yang
dipukul-pukul pakai sendok oleh tukang bubur, maupun suara kring-kring yang
berasal dari abang-abang pengantar koran. Kota ini memang selalu sibuk dan
takkan pernah tidur.
Jam
sudah menunjukkan pukul 9 pagi, aku masih saja menggeliat dikasur, padahal jam
11 nanti aku ada kelas. Butuh waktu 15 menit untukku mengumpulkan nyawa agar
bangun sempurna, dan 15 menit juga mengumpulkan niat untuk mandi. Tepat pukul
10 aku sudah rapi, kamar kubiarkan berantakan karena kalu dibereskan dulu
pastinya akan telat apalagi di siang hari seperti ini kota pasti macet.
Sejak
kecil aku sangat suka sekali dengan hujan apalagi bau jalanan setelah hujan
reda ahhh aku candu sekali akan baunya. Aku menari-nari seperti anak TK yang
sedang bermain-main di air tergenang bekas hujan, ntahlah aku sangat senang sekali
melakukannya dan aku tak peduli apa kata orang terhadapku tentang itu.
Tidak
butuh waktu lama aku sampai di halte, jaraknya dari kosanku memang tak terlalu
jauh. Bis yang akan membawaku ke kampus telah nampak dari kejauhan semua
penghuni halte merapat ke tepi jalan agar bisa mendapatkan posisi duduk, karena
jam-jam seperti ini dipastikan bis-bis akan terisi penuh. Untungnya ada satu
tempat duduk yang tersisa untukku, aku duduk sambil mendengarkan lagu
menggunakan headset.
Lima
belas menit dalam perjalanan akhirnya aku sampai di kampus, beruntungnya aku
karena tak begitu macet hari ini. Waktuku masih lama sebelum masuk kelas, lebih
kurang ada setengah jam lagi dan aku memutuskan untuk mengisi perutku terlebih
dahulu.
“Driaanaaaa”
teriak seseorang.
Aku
memutar badanku 360 derajat untuk melihat siapa yang memanggilku. Seseorang
yang memanggilku setengah berlari menghampiriku.
“Hai
Wid” sapaku.
“Tumben
lo udah nyampe di kampus biasanya kan telat mulu” goda Widi. Widi adalah
sahabatku dan kami selalu bersama.
“Yaelah
telat salah, nggak telat dipermasalahin juga.”
“Hahahaha..
lagian tumben-tumbenan gitu. Eh lo mau kemana?”
“Biasa”
aku menepuk perutku.
“Huu
dasar perut karet lo, pantesan gendut” ejek Widi.
“Bodo
yeee.. gendut is sexy daripada lo kurus kering begitu” balasku sambil tertawa.
Seperti
biasa setelah saling mengejek kami akan mentoyor satu sama lain, persahabatan
yang aneh memang tapi karena keanehan itu kami bersatu, #tsaahhh.
Di
perjalanan menuju kantin tidak sengaja kami menabrak seseorang karena terlalu
asyik bercanda, lebih tepatnya aku yang menabrak.
“Eh
sorry..sorry” kataku sambil membantunya berdiri.
“Eh..
iya nggak papa.” Untuk beberapa saat kami saling berpandangan.
“Udah
yuk laper nih.” Tiba-tiba Widi menarikku.
“He?
Eh iyaiya Wid. Sorry yaa..”
Kamipun
pergi meninggalkan seorang pria yang telah kutabrak tadi, ntah kenapa aku
merasa langsung terpaku oleh pandangan matanya.
***
Semenjak
kejadian tabrak-menabrak itu kami sering sekali bertemu setiap kali berselisih
jalan kami saling melempar senyum, aku tidak mengetahui namanya begitupun dia
juga tidak mengetahui namaku yang kami lakukan hanyalah menyapa lewat senyuman,
ya senyuman yang penuh arti.
“Duuhh
mana sih bisnya, udah setengah jam gue tungguin nggak lewat-lewat juga.” Aku
menggerutu sendiri di halte dekat kampus, keadaan halte lengang hanya ada satu
dua orang yang singgah sebentar kemudian pergi. Langit semakin mendung
sepertinya bulan ini akan musim hujan karena sejak awal bulan sampai
pertengahan bulan ini hujan tak henti-hentinya membasahi kota kami.
Bis
yang ditunggu tak kunjung datang, aku mulai bosan akhirnya aku memutuskan untuk
berjalan saja kalau ada bis yang lewat baru aku naik. Perjalananku hanya
ditemani oleh sebatang coklat yang baru habis setengahnya dan headset yang
selalu bersedia dimasukkan ke dalam telingaku, aku menikmati perjalanan
tersebut tanpa terasa aku telah melewati setengahnya.
Langit
semakin diselimuti awan hitam sesekali aku mendongak melihat langit apakah aku
harus meneruskan perjalanan ini atau harus berhenti sebentar takut-takutnya
hujan turun saat aku berada di tempat yang tidak tepat. Belum sempat aku
memutuskan tiba-tiba ada motor yang berhenti di depanku, aku menunggu sampai
yang empunya motor membuka helmnya dan alangkah terkejutnya aku ternyata
dibalik helm hitam itu adalah seseorang yang selama ini kami saling melempar
senyum tanpa saling mengenal satu sama lain.
“Hei”
sapanya terlebih dahulu, dan ini untuk kedua kalinya aku mendengar suaranya setelah
kejadian tabrakan kemarin.
“Hai”
jawabku tersenyum.
Tiba-tiba
dia menjulurkan tangan. “Ken”
“Adriana”
balasku menjabat tangannya. Kami tersenyum.
“Kamu..
mau kemana?” tanyanya kemudian.
“Mau
balik, daritadi nungguin bis nggak dateng-dateng yaudah deh karena bosen nunggu
di halte aku mutusin buat jalan”. Ntah kenapa aku begitu merasa dekat dan kami
seperti sudah saling mengenal dan mengobrol banyak hal.
“Oh..
gitu. Gimana kalo aku anter?” tawarnya. Dan kali ini berhasil membuatku
kegirangan setengah mati.
“Wahh..
nggak usah, nanti ngerepotin” tolakku basa-basi.
“Hahaha
nggak papa kok, lagian udah mau ujan. Ayokk”
Tanpa
perlu berpikir lama aku mengangguk menerima tawarannya, diapun memasang helmnya
kembali. Motor yang dibawanya membelah jalanan kota yang tak begitu ramai,
langit semakin mendung dan banyak pejalan kaki yang melintas memutuskan untuk
berteduh di halte-halte ataupun warung.
Tidak
ada percakapan antara kami berdua aku yang sibuk untuk menormalkan kembali
perasaanku yang tiba-tiba terasa deg-degan dan Ken mungkin sedang fokus
mengendari motornya, hanya suara knalpot motor yang terdengar.
“Kamu
jurusan apa Dri?” tiba-tiba Ken memulai percakapan, karena suara knalpot dan
angin yang berhembus terlalu kencang sehingga aku tak begitu mendengar apa yang
dia katakan.
“Haa?
Apa Ken?” tanyaku dan mendekatkan wajahku ke depan.
“Kamu
jurusannya apa?”
“Ohh..
aku manajemen Ken, kamu?”
“Ohh..
manajemen pinter ngomong dong ya hahaha” ternyata Ken tidak sekaku yang
kupikirkan dan dia memiliki selera humor yang baik.
“Hahaha
bisa aja kamu, kalau kamu apa?”
“Aku
hukum Dri.” Jelasnya
“Wahh..
pinteran kamu dong ngomongnya hahaha” aku membalas gurauan Ken, kamipun tertawa
bersama. Ntah kenapa perjalanan ini begit sangat lama dan aku menikmatinya, Ken
ternyata sosok yang low profile sehingga aku begitu nyaman dan nyambung ketika
mengobrol dengannya.
Lima
belas menit perjalanan yang menyenangkan, akhirnya aku tiba di depan kosan.
“Makasih
banyak ya Ken” kataku setelah turun dari motornya.
“Iya
sama-sama Dri, lain kali aku mau kok nganterin kamu pulang lagi” tawarnya
dengan senyuman yang paling manis. Senyumannya seperti api yang bisa melelehkan
coklat seketika.
“Hahaha
nggak usah nanti malah ngerepotin” balasku basa-basi.
“Ya..
nggak dong, malah aku seneng jadi ada temennya kalo pulang. Yaudah kalo gitu
aku balik dulu ya kayaknya hujan bakalan tturun deh bentar lagi”.
Aku
mendongak melihat langit yang memang sudah bersiap untuk menumpahkan air langit
itu.
“Yaudah..
sekali lagi makasih yah. Hati-hati.”
Ken
mengangguk dan tersenyum, lalu pergi.
***
Seminggu
setelah perkenalan kami semakin sering bertemu, Ken sering menawarkanku untuk
pulang dengannya dan kami juga sudah bertukar nomor telepon. Kami semakin
dekat, tidak ada lagi rasa canggung antara aku dan Ken, Ken yang selalu tidak
habis bahan untuk melucu berhasil membuatku bertambah nyaman, dan nyaman inilah
yang membuatku jatuh hati kepadanya.
Cinta
datang karena terbiasa, kini aku mengalaminya. Sudah hampir sebulan kami
bersama dengan status “pertemanan yang sangat dekat” Ken juga sering mengajakku
keluar diluar jam perkuliahan, dan satu hal lagi yang membuatku semakin
menyukai Ken ternyata hobi kami sama, sama-sama suka menyeruput kopi hitam
tanpa gula.
Waktu
itu Ken memintaku untuk menemaninya keluar, katanya dia bosan dikontrakan
kebetulan waktu itu aku juga nggak lagi ngapa-ngapain akhirnya aku terima
tawarannya. Ternyata Ken membawaku ke salah satu coffee shop deket kampus dan
ini kali pertama aku ngopi bareng seorang cowok biasanya Widi yang selalu setia
menemaniku. Untungnya pada saat kami datang tempat in tak terlalu ramai
sehingga kami bisa leluasa menikmati suasananya yang emang nyaman banget.
“Kamu
pesen apa?” Tanya Ken. Hari ini Ken mengenakan jeans panjang dengan sweater
berwarna abu-abu yang membuat dirinya semakin terlihat tampan di mataku.
“Kopi
hitam tanpa gula” jawabku tersenyum.
“Waaww..
baru kali ini loh aku ketemu cewek pesenannya itu, biasanya kan banyak yang
suka manis-manis” jawabnya takjub.
Aku
hanya tersenyum.
“Yaudah
aku pesen dulu ya”. Aku mengangguk.
Ken
berdiri dari duduknya dan pergi memesan kopi, aku melihat sekeliling sambil
menikmati suasana yang emang nyaman benget, satu hal lagi yang membuatku suka
dengan tempat ini mereka selalu memutarkan lagu-lagu favoritku, dan sekarang
mereka sedang memutarkan lagu seorang penyanyi baru di perindustrian musik
Indonesia yaitu Tulus dengan judul lagunya sepatu.
Tampak
dari kejauahan Ken berjalan ke arahku, seketika aku terpana dengan wajahnya
yang tak terlalu tampan tapi sangat memikat, badannya yang tak terlalu gemuk
ataupun kurus dan jalannya.. ah semuanya dan aku sangat menyukai apa yang ada
pada dirinya. Ken semakin mendekat aku segera melemparkan pandanganku kearah
lain agar tak ketahuan kalau aku sedang memperhatikannya.
“Bentar
lagi pesenannya dating, sabar ya” katanya kepadaku setelah duduk manis di
depanku.
Aku
mengangguk. “By the way pesenan kamu apa?” tanyaku basa-basi.
“Sama
sepertimu, aku sangat menyukai kopi hitam tanpa gula” timpalnya.
Aku
tersenyum, aku tak tahu kemana akan dibawa arah pembicaraan ini hanya saja aku
ngin mengetahui mengapa dia menyukai kopi hitam tanpa gula.
“Kenapa
kamu menyukai kopi hitam tanpa gula?” tanyaku.
“Aku
juga tak memiliki alasan yang khusus hanya saja ketika aku menyesapnya aku
merasa segala kelelahan, kebosanan, dan bentuk rasa apapun itu akan hilang
dengan sendirinya. Selain itu dia juga mengajarkanku bahwa hidup ini nggak
hanya manis saja tapi pahitnya juga harus dinikmati” jelasnya.
Aku
mengangguk-angguk paham dan takjub.
“Kalau
kamu?” Ken menanyakannya kepadaku.
Ketika
aku ingin menjawab, pesanan kami datang. Setelah pesanan diletakkan di atas
meja seperti biasa aku selalu menikmati aroma yang dikeluarkan kopi ini
kemudian meniupnya sedikit dan langsung menyeruputnya. Ken sepertinya
memperhatikanku.
“Apakah
seperti itu ritualmu sebelum meminum kopi?” tanyanya. Pertanyaan ini berhasil
membuatku tertawa karena selama ini tidak ada yang mempersalahkannya bahkan
Widi yang sering menemaniku tidak pernah menanyakan hal ini.
“Hahahaha..
memang kenapa Ken?” tanyaku.
“Ya
nggak papa, soalnya kamu menikmati setiap kegiatan yang kamu lakuin terhadap
kopi itu” jelasnya.
“Aku
juga nggak tau apa yang membuatku melakukan hal itu, hanya saja setiap aku
menikmati aromanya aku merasa seperti dirileksasi semua kepenatan aku hilang,
ketika aku meniupnya segala rasa gundah dan kesedihan ikut hilang bersama
angin, dan ketika menyeruputnya aku merasa bahwa inilah kebahagiaan yang
sebenarnya, sebuah kopi hitam tanpa gula yang mengalir di dalam tengorokanku.”
Ken
manggut-manggut dan kemudian tersenyum.
“Kamu
keren” katanya.
“Keren
apanya, setiap orang pasti memiliki alasan tersendiri begitupun kamu”.
“Tapi
jarang aja ada orang yang hanya meminum kopi memiliki history yang sedemikan sederhananya
tapi tak pernah teripikirkan oleh orang lain.”
Aku
tersipu malu oleh penuturan Ken yang kurasa itu tulus dari hatinya.
“Oya,
Dri?”
Aku
mengangkat kepalaku yang sedari tadi kutundukkan karena takut ketahuan kalau
pipiku sedang memerah karena pujian Ken.
“Iya”
“Ada
yang mau aku omongin ke kamu”
“Apa?”
tanyaku penuh antusias sekaligus penasaran apakah semua perasaanku akan
terbalas.
“Kemaren
kan kamu ngajakin aku ke pantai besok, kayaknya aku nggak bisa deh. Maaf ya”
jelas Ken dengan penuh penyesalan karena membatalkan rencana kami.
Akupun
terkejut, sepertinya ada sesuatu yang serius terjadi.
“Iya
nggak papa kok Ken, tapi kenapa?”
“Besok
aku harus nemenin Dina ke acara ulang tahun temennya”
“Dina?
Dina siapa? Adek kamu?” sejujurnya aku shock mendengar jawaban Ken, siapa
wanita yang dimaksud Ken setauku Ken memamng memiliki adik perempuan tapi
namanya bukan Dina dan kalaupun iya itu nggak mungkin karena Ken dikota ini
hanya sendiri.
“Dina…
Dina itu pacar aku Dri” jawab Ken singkat.
Seketika
sekujur tubuhku langsung panas-dingin, otakku tak dapat menerima jawaban Ken,
aku terdiam ingin rasanya pada saat itu juga aku teriak dan mengatakan
kepadanya bahwa aku menyukainya sejak lama tapi itu tidak mungkin aku tidak
ingin membuat Ken tidak nyaman. Mungkin ini salahku yang menganggap pertemanan
ini memilki arti lain, sedangkan Ken hanya menganggap ini sebagai hubungan yang
hanya sebatas teman.
“Dri..
Drii?” Ken melambaikan tangannya di depan wajahku.
“Eh..
iya Ken. Oh yaudah gapapa lain kali aja kita ke pantainya”.
Hanya
itu yang bisa aku katakan, aku tak mungkin menahannya dan merengek-rengek agar
menemaniku saja. Tapi yang aku sesali kenapa semuanya begitu terlambat kenapa
Ken baru memberitahu sekarang setelah sebulan pertemanan kami, kalau Ken
mengatakannya di awal-awal aku pasti sudah membentengi diriku agar tak jatuh
cinta kepadanya tapi sekarang semuanya telah terlanjur, rasa itu telah terlalu
dalam.
“Makasih
ya Dri, kamu emang selalu ngertiin aku. Sejujurnya aku ngajak kamu ngopi malam
ini untuk menebus ke pantai besok agar kamu nggak terlalu kecewa”.
“Dia
bilang agar aku tak kecewa? Sejujurnya kecewaku berkali lipat Ken” jawabku
dalam hati.
Aku
tersenyum, ya hanya senyuman palsu itu yang dapat kulakukan aku harap Ken tidak
menyadari ataupun mengetahuinya. Sejujurnya aku ingin sekali mengetahui lebih
dalam hubungannya dengan Dina tapi kuurungkan karena aku tak ingn dikejutkan
oleh jawaban-jawaban Ken yang bisa saja membuatku tak bisa lagi membendung air
bening yang sdah menumpuk di pelupuk mataku.
“Kita
balik yuk Dri” ajak Ken sambil melihat jam tangannya.
“Kamu
duluan aja, aku lagi pengen disini lagunya asik-asik, lagian kopiku belum
habis” aku tak ingin pulang, aku ingin sendiri.
“Tapi
inikan udah malem, nanti kamu pulangnya gimana?”
“Kamu
tenang aja, nanti aku minta Widi jemput.”
“Tapi
Dri?”
“Udah
nggak papa” jawabku meyakinkan Ken.
Akhirnya
Ken membiarkanku, dia berdiri dari kursinya.
“Kamu
beneran nggak papa?” tanyanya sekali lagi.
Aku
mengangguk sambil tersenyum.
“Yaudah
ntar kalo udah nyampe kosan kabarin ya” Ken memegang pundakku.
Aku
tersenyum. Ken pergi, tepatnya kini hanya punggungya yang terlihat aku tak bisa
menahan tangisku lagi, air mataku berjatuhan dengan sendirinya seperti hujan
yang selalu turun akhir-akhir ini. Pikiranku kalut, aku tak bisa berpikir
dengan baik kubiarkan air bening itu menumpahkan sakitnya. Sesekali pelayan
melihatku dengan cepat aku mengahpusnya dengan tisu.
Setelah
aku bisa menenangkan diriku, kuserput kopi yang tnggal setengah itu. Ntah
kenapa ritual yang kulakukan tak berhasil mengusir kesedihan ini, kopi ini
terasa begitu sangat pahit aku tidak mennikmatinya lagi.
Ini
adalah kopi hitam tanpa gula kali pertama yang kuminum sejak 5 tahun belakangan
ini yang memliki rasa begitu pahit. Aku tak lagi menikamatinya sebagai sebuah
kebahagiaan tapi menikamtinya selayaknya kodratnya, hitam dan pahit. Aku tak
tahu sampai kapan semuanya seperti ini, Ken berhasil mengubah segalanya.
Kopi
hitam tanpa gula itu kini tak lagi memberikan ketenangan dia telah berubah
menjadi kopi hitam tanpa gula yang sebenarnya. Kopi yang hitam dan pahit. Aku
tak tahu apakah aku akan tetap meminum kopi hitam tanpa gula atau malah beralih
kepada kopi lain.
Setidaknya
aku takkan pernah berhenti menyesap kopi, mungkin kali ini kopi dalam jenis
yang lain.
Aku
mendengar ada yang berjalan ke arahku, ternyata benar seseorang berkaca mata
datang membawa dua cangkir yang aku tak tahu apa isinya.
“Ini
moccaccino terbaik di tempat ini, semoga kamu tak bersedih lagi” katanya.
Aku
menatap dan meminumnya. Aku tersenyum.
“Aku
menemukannya”.
-S
E K I A N-
Next
Story: Moccaccino
Tidak ada komentar:
Posting Komentar