2014/08/15

KOPI HITAM TANPA GULA




            Sejak malam hingga pagi ini hujan belum juga berhenti, tapi sederas apapun hujannya tak pernah membuat kota ini sepi akan kegiatannya ada saja yang dilakukan orang-orang mulai dari pagi hingga pagi kembali. Tapi hujan yang tidak begitu deras ini membuatku bermalas-malasan diatas kasur kapuk yang bagiku sangat nyaman. Sedari tadi sudah banyak pedagang di luar yang menjajakan dagangannya dengan semangat mulai dari suara khas tukang sayur, suara mangkuk yang dipukul-pukul pakai sendok oleh tukang bubur, maupun suara kring-kring yang berasal dari abang-abang pengantar koran. Kota ini memang selalu sibuk dan takkan pernah tidur.
            Jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi, aku masih saja menggeliat dikasur, padahal jam 11 nanti aku ada kelas. Butuh waktu 15 menit untukku mengumpulkan nyawa agar bangun sempurna, dan 15 menit juga mengumpulkan niat untuk mandi. Tepat pukul 10 aku sudah rapi, kamar kubiarkan berantakan karena kalu dibereskan dulu pastinya akan telat apalagi di siang hari seperti ini kota pasti macet.
            Sejak kecil aku sangat suka sekali dengan hujan apalagi bau jalanan setelah hujan reda ahhh aku candu sekali akan baunya. Aku menari-nari seperti anak TK yang sedang bermain-main di air tergenang bekas hujan, ntahlah aku sangat senang sekali melakukannya dan aku tak peduli apa kata orang terhadapku tentang itu.
            Tidak butuh waktu lama aku sampai di halte, jaraknya dari kosanku memang tak terlalu jauh. Bis yang akan membawaku ke kampus telah nampak dari kejauhan semua penghuni halte merapat ke tepi jalan agar bisa mendapatkan posisi duduk, karena jam-jam seperti ini dipastikan bis-bis akan terisi penuh. Untungnya ada satu tempat duduk yang tersisa untukku, aku duduk sambil mendengarkan lagu menggunakan headset.
            Lima belas menit dalam perjalanan akhirnya aku sampai di kampus, beruntungnya aku karena tak begitu macet hari ini. Waktuku masih lama sebelum masuk kelas, lebih kurang ada setengah jam lagi dan aku memutuskan untuk mengisi perutku terlebih dahulu.
            “Driaanaaaa” teriak seseorang.
            Aku memutar badanku 360 derajat untuk melihat siapa yang memanggilku. Seseorang yang memanggilku setengah berlari menghampiriku.
            “Hai Wid” sapaku.
            “Tumben lo udah nyampe di kampus biasanya kan telat mulu” goda Widi. Widi adalah sahabatku dan kami selalu bersama.
            “Yaelah telat salah, nggak telat dipermasalahin juga.”
            “Hahahaha.. lagian tumben-tumbenan gitu. Eh lo mau kemana?”
            “Biasa” aku menepuk perutku.
            “Huu dasar perut karet lo, pantesan gendut” ejek Widi.
            “Bodo yeee.. gendut is sexy daripada lo kurus kering begitu” balasku sambil tertawa.
            Seperti biasa setelah saling mengejek kami akan mentoyor satu sama lain, persahabatan yang aneh memang tapi karena keanehan itu kami bersatu, #tsaahhh.
            Di perjalanan menuju kantin tidak sengaja kami menabrak seseorang karena terlalu asyik bercanda, lebih tepatnya aku yang menabrak.
            “Eh sorry..sorry” kataku sambil membantunya berdiri.
            “Eh.. iya nggak papa.” Untuk beberapa saat kami saling berpandangan.
            “Udah yuk laper nih.” Tiba-tiba Widi menarikku.
            “He? Eh iyaiya Wid. Sorry yaa..”
            Kamipun pergi meninggalkan seorang pria yang telah kutabrak tadi, ntah kenapa aku merasa langsung terpaku oleh pandangan matanya.
***
            Semenjak kejadian tabrak-menabrak itu kami sering sekali bertemu setiap kali berselisih jalan kami saling melempar senyum, aku tidak mengetahui namanya begitupun dia juga tidak mengetahui namaku yang kami lakukan hanyalah menyapa lewat senyuman, ya senyuman yang penuh arti.
            “Duuhh mana sih bisnya, udah setengah jam gue tungguin nggak lewat-lewat juga.” Aku menggerutu sendiri di halte dekat kampus, keadaan halte lengang hanya ada satu dua orang yang singgah sebentar kemudian pergi. Langit semakin mendung sepertinya bulan ini akan musim hujan karena sejak awal bulan sampai pertengahan bulan ini hujan tak henti-hentinya membasahi kota kami.
            Bis yang ditunggu tak kunjung datang, aku mulai bosan akhirnya aku memutuskan untuk berjalan saja kalau ada bis yang lewat baru aku naik. Perjalananku hanya ditemani oleh sebatang coklat yang baru habis setengahnya dan headset yang selalu bersedia dimasukkan ke dalam telingaku, aku menikmati perjalanan tersebut tanpa terasa aku telah melewati setengahnya.
            Langit semakin diselimuti awan hitam sesekali aku mendongak melihat langit apakah aku harus meneruskan perjalanan ini atau harus berhenti sebentar takut-takutnya hujan turun saat aku berada di tempat yang tidak tepat. Belum sempat aku memutuskan tiba-tiba ada motor yang berhenti di depanku, aku menunggu sampai yang empunya motor membuka helmnya dan alangkah terkejutnya aku ternyata dibalik helm hitam itu adalah seseorang yang selama ini kami saling melempar senyum tanpa saling mengenal satu sama lain.
            “Hei” sapanya terlebih dahulu, dan ini untuk kedua kalinya aku mendengar suaranya setelah kejadian tabrakan kemarin.
            “Hai” jawabku tersenyum.
            Tiba-tiba dia menjulurkan tangan. “Ken”
            “Adriana” balasku menjabat tangannya. Kami tersenyum.
            “Kamu.. mau kemana?” tanyanya kemudian.
            “Mau balik, daritadi nungguin bis nggak dateng-dateng yaudah deh karena bosen nunggu di halte aku mutusin buat jalan”. Ntah kenapa aku begitu merasa dekat dan kami seperti sudah saling mengenal dan mengobrol banyak hal.
            “Oh.. gitu. Gimana kalo aku anter?” tawarnya. Dan kali ini berhasil membuatku kegirangan setengah mati.
            “Wahh.. nggak usah, nanti ngerepotin” tolakku basa-basi.
            “Hahaha nggak papa kok, lagian udah mau ujan. Ayokk”
            Tanpa perlu berpikir lama aku mengangguk menerima tawarannya, diapun memasang helmnya kembali. Motor yang dibawanya membelah jalanan kota yang tak begitu ramai, langit semakin mendung dan banyak pejalan kaki yang melintas memutuskan untuk berteduh di halte-halte ataupun warung.
            Tidak ada percakapan antara kami berdua aku yang sibuk untuk menormalkan kembali perasaanku yang tiba-tiba terasa deg-degan dan Ken mungkin sedang fokus mengendari motornya, hanya suara knalpot motor yang terdengar.
            “Kamu jurusan apa Dri?” tiba-tiba Ken memulai percakapan, karena suara knalpot dan angin yang berhembus terlalu kencang sehingga aku tak begitu mendengar apa yang dia katakan.
            “Haa? Apa Ken?” tanyaku dan mendekatkan wajahku ke depan.
            “Kamu jurusannya apa?”
            “Ohh.. aku manajemen Ken, kamu?”
            “Ohh.. manajemen pinter ngomong dong ya hahaha” ternyata Ken tidak sekaku yang kupikirkan dan dia memiliki selera humor yang baik.
            “Hahaha bisa aja kamu, kalau kamu apa?”
            “Aku hukum Dri.” Jelasnya
            “Wahh.. pinteran kamu dong ngomongnya hahaha” aku membalas gurauan Ken, kamipun tertawa bersama. Ntah kenapa perjalanan ini begit sangat lama dan aku menikmatinya, Ken ternyata sosok yang low profile sehingga aku begitu nyaman dan nyambung ketika mengobrol dengannya.
            Lima belas menit perjalanan yang menyenangkan, akhirnya aku tiba di depan kosan.
            “Makasih banyak ya Ken” kataku setelah turun dari motornya.
            “Iya sama-sama Dri, lain kali aku mau kok nganterin kamu pulang lagi” tawarnya dengan senyuman yang paling manis. Senyumannya seperti api yang bisa melelehkan coklat seketika.
            “Hahaha nggak usah nanti malah ngerepotin” balasku basa-basi.
            “Ya.. nggak dong, malah aku seneng jadi ada temennya kalo pulang. Yaudah kalo gitu aku balik dulu ya kayaknya hujan bakalan tturun deh bentar lagi”.
            Aku mendongak melihat langit yang memang sudah bersiap untuk menumpahkan air langit itu.
            “Yaudah.. sekali lagi makasih yah. Hati-hati.”
            Ken mengangguk dan tersenyum, lalu pergi.
***
            Seminggu setelah perkenalan kami semakin sering bertemu, Ken sering menawarkanku untuk pulang dengannya dan kami juga sudah bertukar nomor telepon. Kami semakin dekat, tidak ada lagi rasa canggung antara aku dan Ken, Ken yang selalu tidak habis bahan untuk melucu berhasil membuatku bertambah nyaman, dan nyaman inilah yang membuatku jatuh hati kepadanya.
            Cinta datang karena terbiasa, kini aku mengalaminya. Sudah hampir sebulan kami bersama dengan status “pertemanan yang sangat dekat” Ken juga sering mengajakku keluar diluar jam perkuliahan, dan satu hal lagi yang membuatku semakin menyukai Ken ternyata hobi kami sama, sama-sama suka menyeruput kopi hitam tanpa gula.
            Waktu itu Ken memintaku untuk menemaninya keluar, katanya dia bosan dikontrakan kebetulan waktu itu aku juga nggak lagi ngapa-ngapain akhirnya aku terima tawarannya. Ternyata Ken membawaku ke salah satu coffee shop deket kampus dan ini kali pertama aku ngopi bareng seorang cowok biasanya Widi yang selalu setia menemaniku. Untungnya pada saat kami datang tempat in tak terlalu ramai sehingga kami bisa leluasa menikmati suasananya yang emang nyaman banget.
            “Kamu pesen apa?” Tanya Ken. Hari ini Ken mengenakan jeans panjang dengan sweater berwarna abu-abu yang membuat dirinya semakin terlihat tampan di mataku.
            “Kopi hitam tanpa gula” jawabku tersenyum.
            “Waaww.. baru kali ini loh aku ketemu cewek pesenannya itu, biasanya kan banyak yang suka manis-manis” jawabnya takjub.
            Aku hanya tersenyum.
            “Yaudah aku pesen dulu ya”. Aku mengangguk.
            Ken berdiri dari duduknya dan pergi memesan kopi, aku melihat sekeliling sambil menikmati suasana yang emang nyaman benget, satu hal lagi yang membuatku suka dengan tempat ini mereka selalu memutarkan lagu-lagu favoritku, dan sekarang mereka sedang memutarkan lagu seorang penyanyi baru di perindustrian musik Indonesia yaitu Tulus dengan judul lagunya sepatu.
            Tampak dari kejauahan Ken berjalan ke arahku, seketika aku terpana dengan wajahnya yang tak terlalu tampan tapi sangat memikat, badannya yang tak terlalu gemuk ataupun kurus dan jalannya.. ah semuanya dan aku sangat menyukai apa yang ada pada dirinya. Ken semakin mendekat aku segera melemparkan pandanganku kearah lain agar tak ketahuan kalau aku sedang memperhatikannya.
            “Bentar lagi pesenannya dating, sabar ya” katanya kepadaku setelah duduk manis di depanku.
            Aku mengangguk. “By the way pesenan kamu apa?” tanyaku basa-basi.
            “Sama sepertimu, aku sangat menyukai kopi hitam tanpa gula” timpalnya.
            Aku tersenyum, aku tak tahu kemana akan dibawa arah pembicaraan ini hanya saja aku ngin mengetahui mengapa dia menyukai kopi hitam tanpa gula.
            “Kenapa kamu menyukai kopi hitam tanpa gula?” tanyaku.
            “Aku juga tak memiliki alasan yang khusus hanya saja ketika aku menyesapnya aku merasa segala kelelahan, kebosanan, dan bentuk rasa apapun itu akan hilang dengan sendirinya. Selain itu dia juga mengajarkanku bahwa hidup ini nggak hanya manis saja tapi pahitnya juga harus dinikmati” jelasnya.
            Aku mengangguk-angguk paham dan takjub.
            “Kalau kamu?” Ken menanyakannya kepadaku.
            Ketika aku ingin menjawab, pesanan kami datang. Setelah pesanan diletakkan di atas meja seperti biasa aku selalu menikmati aroma yang dikeluarkan kopi ini kemudian meniupnya sedikit dan langsung menyeruputnya. Ken sepertinya memperhatikanku.
            “Apakah seperti itu ritualmu sebelum meminum kopi?” tanyanya. Pertanyaan ini berhasil membuatku tertawa karena selama ini tidak ada yang mempersalahkannya bahkan Widi yang sering menemaniku tidak pernah menanyakan hal ini.
            “Hahahaha.. memang kenapa Ken?” tanyaku.
            “Ya nggak papa, soalnya kamu menikmati setiap kegiatan yang kamu lakuin terhadap kopi itu” jelasnya.
            “Aku juga nggak tau apa yang membuatku melakukan hal itu, hanya saja setiap aku menikmati aromanya aku merasa seperti dirileksasi semua kepenatan aku hilang, ketika aku meniupnya segala rasa gundah dan kesedihan ikut hilang bersama angin, dan ketika menyeruputnya aku merasa bahwa inilah kebahagiaan yang sebenarnya, sebuah kopi hitam tanpa gula yang mengalir di dalam tengorokanku.”
            Ken manggut-manggut dan kemudian tersenyum.
            “Kamu keren” katanya.
            “Keren apanya, setiap orang pasti memiliki alasan tersendiri begitupun kamu”.
            “Tapi jarang aja ada orang yang hanya meminum kopi memiliki history yang sedemikan sederhananya tapi tak pernah teripikirkan oleh orang lain.”
            Aku tersipu malu oleh penuturan Ken yang kurasa itu tulus dari hatinya.
            “Oya, Dri?”
            Aku mengangkat kepalaku yang sedari tadi kutundukkan karena takut ketahuan kalau pipiku sedang memerah karena pujian Ken.
            “Iya”
            “Ada yang mau aku omongin ke kamu”
            “Apa?” tanyaku penuh antusias sekaligus penasaran apakah semua perasaanku akan terbalas.
            “Kemaren kan kamu ngajakin aku ke pantai besok, kayaknya aku nggak bisa deh. Maaf ya” jelas Ken dengan penuh penyesalan karena membatalkan rencana kami.
            Akupun terkejut, sepertinya ada sesuatu yang serius terjadi.
            “Iya nggak papa kok Ken, tapi kenapa?”
            “Besok aku harus nemenin Dina ke acara ulang tahun temennya”
            “Dina? Dina siapa? Adek kamu?” sejujurnya aku shock mendengar jawaban Ken, siapa wanita yang dimaksud Ken setauku Ken memamng memiliki adik perempuan tapi namanya bukan Dina dan kalaupun iya itu nggak mungkin karena Ken dikota ini hanya sendiri.
            “Dina… Dina itu pacar aku Dri” jawab Ken singkat.
            Seketika sekujur tubuhku langsung panas-dingin, otakku tak dapat menerima jawaban Ken, aku terdiam ingin rasanya pada saat itu juga aku teriak dan mengatakan kepadanya bahwa aku menyukainya sejak lama tapi itu tidak mungkin aku tidak ingin membuat Ken tidak nyaman. Mungkin ini salahku yang menganggap pertemanan ini memilki arti lain, sedangkan Ken hanya menganggap ini sebagai hubungan yang hanya sebatas teman.
            “Dri.. Drii?” Ken melambaikan tangannya di depan wajahku.
            “Eh.. iya Ken. Oh yaudah gapapa lain kali aja kita ke pantainya”.
            Hanya itu yang bisa aku katakan, aku tak mungkin menahannya dan merengek-rengek agar menemaniku saja. Tapi yang aku sesali kenapa semuanya begitu terlambat kenapa Ken baru memberitahu sekarang setelah sebulan pertemanan kami, kalau Ken mengatakannya di awal-awal aku pasti sudah membentengi diriku agar tak jatuh cinta kepadanya tapi sekarang semuanya telah terlanjur, rasa itu telah terlalu dalam.
            “Makasih ya Dri, kamu emang selalu ngertiin aku. Sejujurnya aku ngajak kamu ngopi malam ini untuk menebus ke pantai besok agar kamu nggak terlalu kecewa”.
            “Dia bilang agar aku tak kecewa? Sejujurnya kecewaku berkali lipat Ken” jawabku dalam hati.
            Aku tersenyum, ya hanya senyuman palsu itu yang dapat kulakukan aku harap Ken tidak menyadari ataupun mengetahuinya. Sejujurnya aku ingin sekali mengetahui lebih dalam hubungannya dengan Dina tapi kuurungkan karena aku tak ingn dikejutkan oleh jawaban-jawaban Ken yang bisa saja membuatku tak bisa lagi membendung air bening yang sdah menumpuk di pelupuk mataku.
            “Kita balik yuk Dri” ajak Ken sambil melihat jam tangannya.
            “Kamu duluan aja, aku lagi pengen disini lagunya asik-asik, lagian kopiku belum habis” aku tak ingin pulang, aku ingin sendiri.
            “Tapi inikan udah malem, nanti kamu pulangnya gimana?”
            “Kamu tenang aja, nanti aku minta Widi jemput.”
            “Tapi Dri?”
            “Udah nggak papa” jawabku meyakinkan Ken.
            Akhirnya Ken membiarkanku, dia berdiri dari kursinya.
            “Kamu beneran nggak papa?” tanyanya sekali lagi.
            Aku mengangguk sambil tersenyum.
            “Yaudah ntar kalo udah nyampe kosan kabarin ya” Ken memegang pundakku.
            Aku tersenyum. Ken pergi, tepatnya kini hanya punggungya yang terlihat aku tak bisa menahan tangisku lagi, air mataku berjatuhan dengan sendirinya seperti hujan yang selalu turun akhir-akhir ini. Pikiranku kalut, aku tak bisa berpikir dengan baik kubiarkan air bening itu menumpahkan sakitnya. Sesekali pelayan melihatku dengan cepat aku mengahpusnya dengan tisu.
            Setelah aku bisa menenangkan diriku, kuserput kopi yang tnggal setengah itu. Ntah kenapa ritual yang kulakukan tak berhasil mengusir kesedihan ini, kopi ini terasa begitu sangat pahit aku tidak mennikmatinya lagi.
            Ini adalah kopi hitam tanpa gula kali pertama yang kuminum sejak 5 tahun belakangan ini yang memliki rasa begitu pahit. Aku tak lagi menikamatinya sebagai sebuah kebahagiaan tapi menikamtinya selayaknya kodratnya, hitam dan pahit. Aku tak tahu sampai kapan semuanya seperti ini, Ken berhasil mengubah segalanya.
            Kopi hitam tanpa gula itu kini tak lagi memberikan ketenangan dia telah berubah menjadi kopi hitam tanpa gula yang sebenarnya. Kopi yang hitam dan pahit. Aku tak tahu apakah aku akan tetap meminum kopi hitam tanpa gula atau malah beralih kepada kopi lain.
            Setidaknya aku takkan pernah berhenti menyesap kopi, mungkin kali ini kopi dalam jenis yang lain.
            Aku mendengar ada yang berjalan ke arahku, ternyata benar seseorang berkaca mata datang membawa dua cangkir yang aku tak tahu apa isinya.
            “Ini moccaccino terbaik di tempat ini, semoga kamu tak bersedih lagi” katanya.
            Aku menatap dan meminumnya. Aku tersenyum.
            “Aku menemukannya”.

-S E K I A N-
Next Story: Moccaccino
           

Tidak ada komentar:

Tidak Apa-Apa Jika Sendiri

Tulisan ini tercipta saat saya sedang menunggu masuk ke sebuah studio untuk menonton. Hari ini tanggalnya cantik sangat bahagia melihat ora...